Selasa, 25 Maret 2014

Sejarah Dramaturgi

Sejarah Dramaturgi
1945 tahun dimana, Kenneth Duva Burke(May 5, 1897 – November 19, 1993) seorang teoritis literatur Amerika dan filosof memperkenalkan konsep dramatisme sebagai metode untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Tujuan Dramatisme adalah memberikan penjelasan logis untuk memahami motif tindakan manusia, atau kenapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan (Fox, 2002). Dramatisme memperlihatkan bahasa sebagai model tindakan simbolik ketimbang model pengetahuan (Burke, 1978). Pandangan Burke adalah bahwa hidup bukan seperti drama, tapi hidup itu sendiri adalah drama. Tertarik dengan teori dramatisme Burke, Erving Goffman (11 Juni 1922 – 19 November 1982), seorang sosiolog interaksionis dan penulis, memperdalam kajian dramatisme tersebut dan menyempurnakannya dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai salah satu sumbangan terbesar bagi teori ilmu sosial The Presentation of Self in Everyday Life. Dalam buku ini Goffman yang mendalami fenomena interaksi simbolik mengemukakan kajian mendalam mengenai konsep Dramaturgi.
Keteateran adalah nama lain dari dramaturgi. Dramaturgi ialah yang dapat kita artikan sebagai drama dalam pentas, tapi sebenarnya bukan itu saja. Dramaturgi adalah ajaran tentang masalah hukum konvensi drama. Kata drama berasal dari Yunani draomay yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya.

Adapun menurut Moulton, drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak (life presented action). Jika buku roman menggerakan fantasi kita, maka dalam drama kita melihat kehidupan manusia diekspresikan secara langsung di muka kita sendiri.

            Dramaturgi istilah teater yang dipopulerkan oleh Aristoteles, pada tahun 350 SM. Aristoteles seorang filosof yunani yang menciptakan poetics, hasil pemikirannya yang sampai sekarang masih dianggap sebagai buku acuan dalam dunia pentas. Dalam poetics, aristoteles menjabarkan penelitiannya tentang penampilan drama-drama berakhir tragis/tragedi ataupun kisah-kisah komedi. Untuk menghasilkan Poetics Aristoteles meneliti hampir seluruh karya penulis Yunani pada masanya. Kisah tragis merupakan obyek penelitian utamanya dan dalam  Poetics juga Aristoteles menyanjung kisah Oedipus Rex, sebagai kisah drama yang paling dapat diperhitungkan.  Meskipun Aristoteles mengatakan bahwa drama merupakan bagian dari puisi, ia bekerja secara keseluruhan dalam menganalisa drama. Bukan hanya dari naskah saja, tapi juga menganalisa hubungan antara karakter dan akting, dialog, plot dan cerita. Dia memberikan contoh-contoh plot yang baik dan meneliti reaksi drama terhadap penonton. Nilai-nilai yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam maha karyanya ini kemudian dikenal dengan “Aristotelian drama” atau drama ala Aristoteles, dimana deus ex machina adalah suatu kelemahan dan dimana sebuah akting harus tersusun secara efisien. Adapun kunci drama, yaitu anagnorisis, dan katharsis. Dan sampai sekarang ini Aristotelian drama terlihat aplikasinya pada tayangan-tayangan tv, buku-buku panduan perfilman yang bergantung pada pemikiran yang dikemukakan oleh Aristoteles.
            Aristoteles dapat mengungkapkan dramaturgi dalam artian seni. Dan Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Seperti yang kita ketahui, Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya “The Presentation Of Self in Everyday Life”. Bku tersebut menggali segala macam interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dengan cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Bila Aristoteles mengacu kepada teater, maka Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi.

            Tujuan dari presentasi dari Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Kenapa komunikasi? Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgi, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugi mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri.

DRAMATURGI _ Catatan Kuliah.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar